Radio Satria...Sepotong Cerita Semangat Kebersamaan Sebuah Kampung
Kampung halaman ibuku, kampung Bojongdanas, kecamatan Panumbangan, Ciamis, Jawa Barat, yang berada di kaki gunung Syawal, sekitar 3 km arah timur Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, menyimpan banyak cerita untuk dibagi. Sejak bersekolah, dua kali dalam setahun kuhabiskan waktu liburku di kampung ibuku itu, yaitu setiap libur lebaran dan libur panjang sekolah. Bukan hanya keindahan alam yang ditawarkan, kebersamaan dan semangat jiwa muda yang dimiliki warga dari segala usia di sini juga memberi kesan mendalam bagi yang melihatnya.
Kampung yang lebih sering disebut 'Bonas' ini padat dengan kegiatan warga, terutama dalam bidang kesenian. Teater, vokal grup, sanggar tari dan beberapa kelompok kegiatan kesenian lainnya dibentuk. Satu yang paling menarik, sekitar awal tahun 90-an (kalau tidak salah ingat) sebuah radio komunitas dibentuk secara gotong-royong oleh warga. Studio radio ini ditempatkan di sebuah ruang kecil yang bersekat jadi dua ruangan, di kantor balai desa. Ruang itu memang sudah dimusyawarahkan untuk khusus digunakan sebagai tempat kegiatan warga secara bebas (tidak melalui birokrasi kantor desa). Peralatan siaran berupa microphone, radio tape (belum ada mixer), speaker dan sebuah pemancar mini didapat dari sumbangan beberapa warga yang antusias ingin punya radio sendiri di kampungnya. Motivasi awalnya warga mendirikan radio ini adalah warga merasa kampungnya cukup terisolasi tetapi ingin tetap eksis di mata orang. Sebuah motivasi yang cukup bersemangat jiwa muda, toh?
Setelah semua peralatan di-setting dengan kerja gotong-royong, akhirnya radio ini bersiaran di gelombang sekitar 1080 AM (kalau tidak salah ingat) dan diberi nama radio Satria. "Sahabat Satria FM," begitulah sapaan penyiar kepada pendengar. Kata "FM" tetap dipakai pendengar meskipun radio bersiaran di gelombang AM. Warga dari kalangan usia remaja bahkan hingga manula bergantian mengisi siaran di radio ini. Hebatnya di sini, tak perlu repot meminta warga untuk bersiaran, mereka lah yang datang mengajukan diri. Awalnya jadwal siaran tidak teratur, setiap jam asal ada yang mengisi saja. Belakangan, jadwal siaran disusun berdasarkan segmen acara. Berbagai acara seperti obrolan warga, permintaan dan pemutaran lagu, dakwah, tilawatil qur'an, drama, hikayat sunda sampai karaokean warga jadi pengisi jadwal siaran di radio ini. Bahkan, ada satu segmen untuk warga saling bertukar pesan sebagai penghubung warga yang lokasi rumahnya saling berjauhan. Aku pun ingat dulu nenekku setiap jam 3 sore selalu minta diputarkan radio karena ada acara kesukaannya yang disi ibu-ibu manula seumurannya dan kebetulan masih sepupu nenekku. Cukup seru, bukan?
Tahun demi tahun berlalu, radio ini masih mengudara. Sejak aku bekerja di Jakarta dan kemudian pindah ke Aceh, lama sekali aku tak berkunjung ke kampung ibuku ini hingga setahun yang lalu aku dengar radio di kampung tersebut sudah tidak lagi bersiaran. Aku menyayangkan radio itu harus ditutup dan jadi penasaran apa sebabnya.
Usut punya usut, ternyata banyaknya warga di kampung itu yang pindah ke Jakarta maupun beberapa kota lainnya menyebabkan sepinya aktifitas warga. Salah satu warga yang sudah menikah dan pindah adalah penggerak kegiatan kesenian warga. Sebagian tokoh pemuda kampung ini juga sudah pindah ke kota lain. Kecenderungan yang ada sekarang, banyak warga lebih bangga tinggal di kota daripada di kampung. Pengisi siaran yang sudah berusia lanjut dulu pun kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk bersiaran. Bahkan, sebagian penyiar yang berumur memang sudah meninggal. Sejak radio vakum kegiatan, berangsur-angsur beberapa aktifitas kebersamaan warga pun menghilang.
Kampung ini bukan tidak lagi memiliki kader pemuda, tetapi warganya sekarang kekurangan penggerak atau motivator. Seandainya saja ada yang mau 'memulai' lagi tentu geliat warga seperti dulu bisa dibangun kembali. Kecintaan sebagian warga terhadap kampung ini yang mulai luntur pun memiliki pengaruh besar. Radio komunitas itu kan dibangun juga dengan rasa memiliki dan kebersamaan dalam sebuah kampung. Ketika rasa itu hilang, otomatis radio juga hilang.
Di sini terlihat, pengkaderan individu-individu penggerak warga bukanlah hal yang sepele. Semoga ini juga bisa jadi pelajaran bagi radio-radio komunitas lainnya di mana pun.
Komentar
Posting Komentar