Dilema Masyarakat Pesisir (Aceh)


Gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh pada tahun 2004 silam tak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan masyarakat Aceh. Peristiwa yang disaksikan milyaran mata di dunia melalui media itu juga tak luput dari ingatanku. Pasca kejadian tsunami, sempat terlintas dalam pikiranku pertanyaan mengapa jutaan warga tetap mendiami wilayah sepanjang garis pantai di sana.  Itu dulu...

Perjalanan hidup membawaku ke Aceh. Bahkan, saat ini aku dan keluarga memutuskan untuk tinggal di daerah pesisir kota Banda Aceh. Lokasi strategis untuk miencurahkan hobi memancing bagi suamiku, suasana pantai yang tentram dan berbagai alasan lainnya mengantar kami tinggal di bibir pantai.

Suara mesin perahu nelayan yang mondar-mandir setiap pagi dan sore jadi rutinitas yang mengisi hari-hari kami. Ibu-ibu dan remaja putri yang berburu tiram dan membersihkannya bersama-sama sambil bercanda di muara sungai, jaring nelayan yang dijerang depan rumah, sampai suara ketokan palu pembuat perahu, benar-benar rutinitas yang membuka mataku akan delik kehidupan yang sangat berarti di tepi pantai.

Dalam bayangan bencana tsunami yang bisa terjadi kapan saja, semangat warga di sini tak pernah kendur. Tak sedikitpun mereka gentar untuk mendiami tanah kampungnya ini. Lain cerita dengan sebagian pendatang baru sepertiku yang sedikit-sedikit ingin rasanya cepat meninggalkan lokasi ini terutama saat baru mendengar kabar yang menakutkan.

Gempa 8,5 SR pada 11 April 2012 lalu membuat kami berancang-ancang lagi. Bahkan bertubi-tubi informasi yang diterima beberapa hari terakhir, baik itu dari sesama teman maupun dari media yang mengatakan akan terjadi gempa dan tsunami besar yang lebih dahsyat dari tsunami 2004 lalu membuat sebagian kecil masyarakat di kampung ini ketar-ketir. Mereka yang lebih cemas tentu saja kaum ibu di sini. Bagaimana tidak, merekalah yang lebih banyak berdiam di rumah, menjaga anak-anaknya dan umumnya tidak berbekal kendaraan untuk mengevakuasi diri jika bencana itu terjadi. Contohnya yaitu salah satu tetanggaku yang memiliki anak kembar yang masih balita. Suaminya adalah supir angkutan antar kota yang hanya bisa pulang dua hari sekali. Sang ibu tidak dibekali kendaraan dan memang dia tidak bisa mengendarainya juga. Bila dibayangkan, dalam situasi panik dia harus berlari menggendong dua anak kembarnya sambil membawa perlengkapan yang diperlukan. Tentu bukan hal yang menyenangkan, toh?

Kondisi jalan untuk digunakan sebagai jalur evakuasi memang sudah sangat bagus, tetapi jarak menuju lokasi yang aman memang masih cukup jauh. Jika warga di sini mau berembuk dan mensiagakan diri untuk itu, mereka bisa juga berbagi tugas untuk pembagian tugas evakuasi di lingkungan ini. Tapi, itu teorinya... Tetap saja, bayangan bencana ada di depan mata. Pada prakteknya, saat bencana terjadi kadang kita saja bisa bingung harus berbuat apa, seolah kacau ingatan.

Begitulah dilema yang dilalui masyarakat di sepanjang pesisir Aceh khususnya dan mungkin di sepanjang jalur pantai barat Sumatera yang rawan.

Dulu ini semua hanya ku lihat dari jauh. Saat ini aku bagian dari mereka juga yang tetap harus menghadapi hari-hari dengan normal dibalik ancaman mengerikan itu. Bagaimanapun, suasana damai di tepi laut tetap jadi hiburan kami. Bagiku, cuma mental yang bisa aku siapkan. Di mana pun kita tinggal, jika Tuhan berkehendak kita tak bisa lari juga kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi "Masawang-sawangan" dan "Matombol-tombolan" Keluarga Kawanua dan Khidmat Paskah dalam Masa Pandemi Covid-19

Ketika Sambal Roa dan Pecel Madiun Bertemu dalam Jamuan Sosial dan Kekinian

Pidato Jokowi dan Kiprah Indonesia di PBB