Mengapa Tak Ada Hari Kartono?



Manusia diciptakan dalam dua jenis, laki-laki dan perempuan. Bersama mereka, ada karakteristik fisik maupun non fisik yang tidak bisa dilepaskan secara kodrati. Tentu saja Tuhan maha adil karena tidak membedakan derajat kedua jenis mahluk ciptaannya ini. Tetapi, pada kondisi sosial saat ini ada kecenderungan dalam pemihakan jenis kelamin tertentu.

Jender, jender dan jender…  Saat ini pejuang hak perempuan lebih banyak terdengar gaungnya daripada mereka yang memperjuangkan hak kaum lelaki. Beragam hari peringatan yang berkaitan dengan perempuan dibuat tapi jarang sekali ada hari peringatan yang dikhususkan untuk laki-laki. Sebenarnya ada apa dengan kaum laki-laki? Apa mereka mahluk Tuhan yang tidak spesial atau warga negara kelas dua? Sikap dan pemikiran mengenai pemisahan jender ini tidak bisa disalahkan. Semua itu terjadi tentu ada alasan yang tepat.

Dari segi fisik, perempuan dikodratkan punya keistimewaan untuk bisa mengandung, melahirkan, menyusui, mengalami masa menstruasi dan menopause. Tentu saja semua tanggung jawab fisik tersebut tidak harus dipikul oleh laki-laki. Kesemua proses yang harus dilalui perempuan tersebut membutuhkan kondisi khusus untuk mendukung keselamatan dan kenyamanan mereka. Contoh saja, ibu yang sedang mengandung cenderung mudah lelah dan harus mengutamakan keselamatan janin yang ada dalam kandungannya ketimbang kepentingannya sendiri. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan sangat dibutuhkan demi kenyamanan dan keamanan bersama. Tetapi, ada juga aturan yang menyetarakan keduanya.               

Sudah jadi rahasia umum kalau aturan tradisi leluhur kita mayoritas lebih mengekang kaum perempuan dibanding laki-laki. Beberapa di antara nilai-nilai di  masyarakat juga berkembang dari ajaran agama, seperti yang diatur oleh islam dalam dalil berikut:

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (Al-Baqarah: 228)

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa : 34)   

Laki-laki diberikan hak dan kewajiban sebagai pemimpin dan perempuan mengikuti aturan yang diberikan sang pemimpin. Tapi pada penerapannya di kehidupan sehari-hari, masyarakat sering mensalahtafsirkan hal ini. Perempuan sering terjebak pada posisi tak memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dan terpaku pada nilai-nilai yang mengikat mereka. Seperti contohnya, kasus istri yang dituntut untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga termasuk mendidik anak-anaknya tidak mendapatkan izin dari suami untuk membekali diri dengan ilmu lebih melalui pendidikan di kampus atau institusi lainnya. Tidak adanya izin dari suami bukan serta merta karena takut sang istri tak bisa menjalankan kewajibannya di rumah dengan baik tapi juga karena nilai di masyarakat yang sudah terbentuk bahwa perempuan tidak pantas beraktifitas di luar rumah.

Di masyarakat perkotaan sekarang, kondisi seperti ini mungkin sudah jarang terjadi. Tetapi, jika kita lihat ke daerah-daerah pelosok dimana aturan adat masih lebih berperan, kondisi ini masih dominan terjadi. Saya pernah melakukan survey pada masyarakat petani perkebunan kopi, kakao dan karet di beberapa titik lokasi di Aceh mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki dilihat dari jadwal aktifitas mereka dari jam ke jam berikutnya. Hasil yang saya temukan; perempuan memiliki jam beraktifitas yang lebih panjang daripada kaum laki-lakinya. Padahal, di situ ditunjukkan bahwa kaum laki-laki masih memiliki waktu luang yang cukup untuk berbagi tanggung jawab di rumah, seperti mengajarkan anak mengenai pelajaran di sekolah. Ketimbang mengisi waktu kosong dengan berkontribusi untuk keluarga, kaum lelaki di sana lebih memilih berkunjung ke tempat-tempat berkumpul. Tak heran jika di jam-jam santai, kedai-kedai kopi maupun warung makan dipenuhi oleh kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk bertemu rekan-rekannya  di luar aktifitas di kebun. Mereka bahkan tidak diberik kesempatan untuk mengikuti banyak kegiatan bermanfaat di luar, seperti kursus, pelatihan, organisasi dan lain-lain.

Hal yang sangat jelas dapat dilihat di masyarakat adat yaitu perempuan berada dalam posisi termarjinalisasi baik sebagai masyarakat adat dan sebagai perempuan.  

Faktor pertama dari marjinalisasi ini adalah karena fakta bahwa perempuan adat dipengaruhi oleh isu-isu yang menyentuh masyarakat adat. Di Indonesia ini berarti bahwa masyarakat adat dibatasi oleh kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hak-hak mereka atas tanah tradisional mereka dan sumber daya alam. Sebagai hasil dari setiap masalah yang mempengaruhi masyarakat adat, perempuan adat menghadapi masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai contoh, jika sebuah komunitas adat mengungsi karena tanah mereka telah diberikan oleh pemerintah untuk penebangan atau perusahaan perkebunan, maka perempuanlah yang harus berjalan jauh untuk mengambil air, menemukan makanan dan tanaman obat.

Faktor kedua dari marjinalisasi ini adalah bahwa secara umum, sebagai perempuan, mereka tidak memiliki akses ke pengambilan keputusan di tingkat manapun, termasuk dalam komunitas mereka sendiri dan dalam banyak kasus di dalam rumah mereka sendiri. Keputusan penting yang mempengaruhi arah masa depan masyarakat dan keluarga dilakukan tanpa melibatkan perempuan. Pada tingkat masyarakat, menurut adat yang paling Hukum (hukum adat), pembagian peran dan tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adat cukup jelas. Peran perempuan terkait untuk bekerja produktif dan reproduktif (menemukan air misalnya, bekerja di kebun dan sawah, melahirkan dan mengurus keluarga), sedangkan pria memegang peran lebih dominan dalam masyarakat, seperti posisi politik di semua tingkat (misalnya di lembagaadat, kelompok tani, asosiasi pemuda atau orang lain).

Kesenjangan jender pun terjadi bukan hanya karena faktor adat-istiadat warisan etnis dan juga ajaran agama. Pengaruh dari luar pun mempengaruhi gaya hidup masyarakat saat ini. Kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual , terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam hitungan statistik lebih sering menempatkan perempuan pada posisi korban.

Kesemua kondisi yang dipaparkan tadi menunjukkan betapa besar peluang kecemburuan hak yang dirasakan oleh kaum perempuan. Jadi tidak bias dihindari banyak kaum perempuan yang berada di posisi ‘siap tempur’ untuk memperjuangkan hak-haknya di masyarakat.

Tuhan memberikan derajat yang sama pada laki-laki dan perempuan, yang berbeda hanya karakteristiknya di dunia. Berikut dalil hadist dalam ajaran Islam yang menguatkan hal tersebut:

"Maka  Tuhan  mereka  memperkenankan  permohonannya  (dengan berfirman); Sesungguhnya  Aku  tidak  menyia-nyiakan  amal orang-orang  yang  beramal  di antara  kamu,  baik  laki-laki maupun perempuan." (Ali Imran: 195)

"Barangsiapa yang mengerjakan  amal  saleh,  baik  laki-laki maupun  perempuan  dalam  keadaan beriman, maka sesungguhnya akan  Kami  berikan  kepadanya  kehidupan  yang   baik   dan sesungguhnya  akan  Kami  beri  balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."(an-Nahl: 97}

Apa yang dilakukan tokoh R.A. Kartini di masa lalu merupakan salah satu wujud upaya perempuan memperoleh hak yang sewajarnya. Sebetulnya bukan hanya Kartini, banyak tokoh lainnya yang juga berjuang demi keadilan bagi perempuan. Bahkan, pelakunya bukan hanya dari kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya impian bagi kaum perempuan tapi bagi semua ciptaan Tuhan di bumi ini, termasuk kaum laki-laki.  

Tokoh R.A. Kartini hanyalah satu dari segelintir tokoh yang ‘kebetulan’ lebih populer daripada pejuang jender lainnya. Kartini hanyalah nama, simbol dari kebangkitan keadilan bagi semua orang. Bisa saja toh kalau pencetus perjuangan hak untuk perempuan itu memiliki nama lain seperti Sulastri, Siska, Winda, Alya atau bukan tidak mungkin jika laki-laki bernama Kartono?…mungkin peringatan dengan nama hari Kartini tidak akan ada setiap tahunnya. Yang penting, keadilan dan kenyamanan harus bisa dirasakan semua orang. Salam!
-Lia-


21 April 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sambal Roa dan Pecel Madiun Bertemu dalam Jamuan Sosial dan Kekinian

Pengalaman Room Tour di Rooms Inc untuk Rekomendasi Hotel di Semarang

Pidato Jokowi dan Kiprah Indonesia di PBB