Merawat Kebhinekaan Ala Kaum Muda







Ira Lathief bersama pemandu dan narasumber acara dari berbagai organisasi keagamaan dan kepercayaan dalam Millenial Talks di hari pertana Festival Kebhinnekaan ke-3, 20 Februari 2020 di Griya GusDur, Jakarta. Sumber: Dok. Pribadi


Ini kali ketiga kegiatan ini diadakan, “Festival Kebhinnekaan” namanya. Dan dengan bangga saya mengatakan bahwa kreator acara ini adalah sahabat saya, Ira Lathief, orang yang sudah saya kenal betul sepak terjangnya dalam dunia sosial. Festival ini dibuatnya atas nama kekhawatiran pada eksklusifitas kelompok dalam satu agama tertentu yang menimbulkan arogansi dan perpecahan sosial. Ira juga menemukan di banyak belahan dunia bahwa arogansi beragama ini mengganggu tatanan yang berlangsung di masyarakat. Apalagi, Indonesia kan bangsa yang majemuk, begitu banyak suku, agama dan keyakinan berdiam di sini, kekhawatiran dengan perpecahan karena perbedaan latar belakang itu semakin kuat.

Ira Lathief membuka Festival Kebhinnekaan ke-3 dengan sambutannya. Sumber: Dok. Pribadi

'Nekad'nya Ira
Entah sejak kapan sahabat saya Ira mulai punya ‘ide gila’ membuat perhelatan ini, mempertemukan yang beda dan saling mencari kesamaan. Bergumul dengan bermacam-macam orang di luar agamanya, tak takutkah ia dicap kafir? Mensosialisasi cara norma agama orang lain pula. “Nekad!” pikirku soal Ira saat itu.

Entah sama pikirku dengan Ira atau tidak, tapi aku merasa riak perpecahan bersentimen Suku Agama dan Ras ini makin menjadi sejak Pilkada DKI 2012 kala Joko Widodo atau Jokowi yang muslim berpasangan dengan Basuki Tjahjapurnama atau Ahok yang non muslim untuk maju sebagai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur. Riak itu menjadi gelombang saat Ahok menjabat Gubernur pasca dilantiknya Jokowi dilantik sebagai presiden. Kasus penistaan agama yang membelit Ahok memanjang menjadi sentimen kubu dalam Pilpres 2014. Begitu seterusnya hingga saat ini, segala sesuatu mengenai agama dan ras menjadi makanan empuk kaum intoleran. Bisa jadi hal-hal inilah yang membuat seorang Ira Lathief gemas untuk menciptakan kegiatan yang mempersatukan sahabat sebangsanya ini yang punya latar belakang berbeda-beda. Almarhumah ibunda Ira juga orang yang sangat toleran dengan banyak kalangan dari agama dan suku yang berbeda-beda. Tak heran, Ira juga mempunyai pemikiran yang moderat dan toleran.

Saya yang Dulu Begitu Kuper
Jujur, saat kecil saya memahami kebaikan cenderung hanya pada nilai ibadah  ajaran agama saya. Saya memang berasal dari keluarga yang cukup fanatik pada agama dan prinsip kedaerahan. Saat itu, saya sangat sempit memaknai ajaran agama saya sehingga tak menangkap esensi sebenarnya yang diajarkan agama saya. Saya cenderung egois dan menilai nilai kebaikan hanya ada di ajaran agama saya. Boleh dibilang ya dulu saya sangat “kuper” atau kurang pergaulan, hehe. Semasa di sekolah dasar lingkungan saya cenderung homogen. Kalaupun ada satu dua teman yang berbeda, saya tidak begitu akrab.
Setelah banyak mengenal sahabat dari berbagai latar belakang dengan perbedaan keyakinan, saya paham apa makna yang disampaikan ajaran agama saya yaitu cinta kasih kepada sesama mahluk ciptaanNya. Bukan hanya agama saya, agama dan kepercayaan lain di dunia ini mengajarkan kebaikan.

Kaum Muda yang Bersemangat untuk Bersaudara
Hampir semua program kerjasama antar budaya, antar agama maupun antar bangsa dilakukan dengan melibatkan kaum muda. Ini saya lihat sebagai upaya merintis perdamaian dari generasi muda agar bisa diteruskan dalam jangka panjang. Selain itu, kaum muda masih punya rasa ingin tahu yang besar dan doktrinasi pikiran yang masih minim. Mereka masih melihat segala sesuatu secara mendasar. Mereka suka berteman dan mendapatkan hal-hal baru dari orang-orang yang baru ditemui. Tak heran banyak tempat bergaul dipenuhi ya oleh anak muda.
Kegiatan Festival Kebhinnekaan dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh muda lintas agama dan keyakinan. Di mata saya, ini suatu hal yang jadi kekuatan untuk kita merawat kebhinnekaan. Dalam keseharian, kaum muda banyak berkegiatan dan bersosialisasi di berbagai tempat. Mereka bisa jadi duta kebhinnekaan itu sendiri, tentu saja jika pola pikirnya belum terkontaminasi oleh intoleransi.

Dengan semangat kaum muda, acara ini juga didukung oleh produsen Sasa yang aktif mendukung kegiatan-kegiatan milenial yang positif di masyarakat. Sasa yang melezatkan ikut  memberi semangat generasi muda yang sering diberi jargon guyonan 'generasi mecin'. Karena itu, semangat millenial begitu kental di acara ini.
 
Para tokoh lintas agama bergantian memandu doa sesuai kepercayaan masing-masing sebelum acara Festival Kebhinnekaan ke-3 dimulai. Sumber foto: Dok. Pribadi
Bertemu Komunitas Agama Resmi dan Non Resmi di Indonesia
Sebelumnya, saya banyak mengikuti program kerjasama aktifis di beberapa kalangan sampai ke luar negeri. Saya bertemu banyak teman dari banyak suku, kebangsaan dan agama. Bahkan, beberapa dari mereka sudah seperti keluarga saya sendiri walau kami berbeda bangsa, bahasa dan budaya. Tapi, saya tak pernah secara spesifik menanyakan tradisi atau ritual keagamaan mereka. Saya belum terlalu mengenal karakter budaya mereka yang sebenarnya. Tapi, di Festival Kebhinnekaan yang ketiga ini saya hadir dan bersyukur punya waktu bertemu dan mengenal mereka semua lebih dekat. Lucu ya, sudah tahun ketiga kegiatan ini diadakan dan saya baru mengikutinya di tahun ini. Kemana saja saya selama ini? Hahaha... Jujur, saya bersyukur bisa hadir di sini.
Di hari pertama, Festival diadakan di Griya GusDur Jakarta Pusat dengan dipandu oleh MC Ellisa Koorag, seorang blogger dan penggerak sosial. Sebagai kreator acara, Ira Lathief pun memberi sambutan. Dan yang paling istimewa di mata saya adalah kehadiran perwakilan dari enam organisasi agama terdaftar dan tiga agama yang belum terdaftar di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Ahmadiyah, Syiah dan Buddha Kasogatan. Selain itu, hadir pula perwakilan dari organusasi agama dunia yaitu Gereja Ortodox, Bahai, Sikh dan Yahudi. Hadir juga perwakilan dari organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia yaitu, Budidaya, Perjalanan, Sunda Wiwitan dan Kepribaden. Kami semua dipertemukan dengan hangat pada sesi Millenial Talks.
Para narasumber dari perwakilan lintas agama yang mengisi Millenial Talks. Sumber: Dok. Pribadi

Sungguh ketika mereka menjelaskan apa nilai dibalik agama dan kepercayaan mereka saya menemukan banyak kesamaan di antara kami semua. Betapa semua ajaran itu hanya menanamkan kebaikan. Setiap agama punya problemnya dan persinggungan antar umatnya sendiri. Sayangnya, hal ini seringkali dipelintir oknum yang membuat kesan pertikaian itu seperti antar agama. Beberapa kali saya membaca berita ketakutan komunitas muslim di beberapa daerah jika ada gereja dibangun di daerahnya akan menarik umat Muslim ke agama Kristen. Padahal, menurut Isac Abimanyu dari perwakilan Kristen Protestan, setiap gereja punya kekhususan jemaatnya sendiri dan kepentingan jemaat yang berbeda membuat jemaat gereja memisahkan diri dan membentuk gereja baru. Jadi kalau ada gereja baru yang dibangun bukan umat agama lain yang harus takut umatnya ditarik tapi gereja lainlah yang harus takut jemaatnya berpindah. Penjelasan ini pun disambut tawa peserta yang hadir. Padahal, kita selama ini begitu tegang karena sering terpancing isu negatif.
 
Saya bersama Ira Lathief dan kedua anak saya di Festival Kebhinnekaan Hari ke-3 di Wisma Rahmat, Petojo, Jakarta Pusat (22 Februari 2020)

Agama Buddha dan Hindu adalah dua agama yang lebih awal dianut oleh leluhur bangsa kita bahkan kata "Bhinneka Tunggal Ika" diambil dari salah satu kitab suci agama Buddha. Kini di Indonesia Islamlah agama mayoritas diikuti Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Di negara lain komposisi ini tentu berbeda-beda. Jadi, label mayoritas dan minoritas tidaklah saklek. Mayoritas bisa jadi minoritas dan begitupun sebaliknya. Dimanapun kita berada prinsip yang dijaga harusnya sama, mayoritas menghormati minoritas dan minoritas merangkul mayoritas. Semua harus dibangun atas rasa saling percaya dan tepa selira. Kasih sayang sesama manusialah yang menjadi ruh ini semua.
Di antara perbedaan, saya paham bahwa kita harus hidup dalam kesamaan yang kita punya yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah saya menangkap makna dari diksi kebhinnekaan dikembangkan para leluhur di negeri kita. Saya paham, semangat kaum muda yang selalu ingin mengenal lebih dekat apa yang ada di muka bumi selaras dengan visi kebhinekaan ini.
Ingat, tak kenal maka tak sayang. Kalau kamu setuju kita merawat kebhinnekaan ini maka kenalilah tetangga, teman dan saudara di sekitarmu dengan segala perbedaan yang kamu dan ia miliki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi "Masawang-sawangan" dan "Matombol-tombolan" Keluarga Kawanua dan Khidmat Paskah dalam Masa Pandemi Covid-19

Ketika Sambal Roa dan Pecel Madiun Bertemu dalam Jamuan Sosial dan Kekinian

Pidato Jokowi dan Kiprah Indonesia di PBB