Menelusuri Aceh, Negeri Indah "Pemulia Jamee"

Saya di salah satu rumah makan di perbukitan Tapaktuan, Aceh Selatan (Sumber foto: koleksi pribadi)
Menjejakkan kaki di tanah Aceh memang bukan hal baru bagi saya. Dua belas tahun yang lalu, tak pernah menyangka Tuhan mengizinkan saya melihat salah satu karunia terbesarNya bagi Indonesia ini. "Negeri serambi Mekkah" atau "Tanah Rencong" begitulah orang menyebutnya, tanah indah di ujung barat Indonesia yang tak henti menawarkan keistimewaan. 
Adat istiadat, kearifan lokal dan keindahan alam yang masih terjaga serta sejarah Aceh yang mengambil bagian besar dalam kemerdekaan negeri ini membuat Aceh selalu menonjol di antara semua propinsi yang ada di Indonesia. Itulah mengapa selalu ada takjub di hati saya melihat perkembangan Aceh.
Tamu yang berkunjung ke daerah ini akan merasa dimuliakan bak seorang raja karena tradisi "Pemulia Jamee" atau "Memuliakan Tamu" yang masih dipelihara sejak zaman leluhur. 
Salah satu bentuk  sambutan kepada tamu yaitu tari "Ranup Lampuan". Kata "Ranup Lampuan" sendiri berasal dari kata "Ranup" yang berarti Sirih, kata "lam" yang berarti di dalam dan kata "Puan" yang berarti wadah. "Ranup Lampuan" artinya Sirih di dalam wadah yang merupakan suguhan untuk tamu yang dimuliakan. 
Biasanya, sirih untuk tamu ini juga ditambahkan dengan buah pinang. Saya yang tumbuh besar di tanah Jawa tak terbiasa mengunyah sirih dan pinang seperti ini. Saya lebih mengenal sirih sebagai rempah yang dikunyah oleh orang yang berusia lanjut untuk merawat gigi mereka. Ini suatu keunikan yang disajikan pada para tetamu.
Aceh dan Islam, dua hal yang tak bisa dilepaskan. Semua tradisi di Aceh bernafaskan Islam dan diwarnai dengan beberapa tradisi leluhur pendatang. Jika anda ke Aceh, jangan lupa menginjakkan kaki di Mesjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol peradaban Islam di Aceh. Penerapan syariah Islam adalah kesepakatan para leluhur Aceh yang tak bisa dielakkan. Itulah keistimewaan daerah ini. 
Kearifan lokal bernafaskan Islam masih terjaga hingga kini dan disesuaikan dengan toleransi masyarakatnya antar lintas keyakinan. Damai, itu yang terasa bagi saya saat tinggal di Aceh. Kami membaur dalam banyak kegiatan dengan teman antar agama, suku dan bangsa. Tapi, dimana tanah dipijak, disitulah langit dijunjung. Tradisi islami di daerah ini tetap harus kami hormati. Itu yang tak terganti.
Sebelum menelusuri Aceh lebih jauh, saya ingin mengajak pembaca mengenal filosofi dalam pakaian adat Aceh. Di hampir setiap gerbang masuk Aceh atau jargon ucapan selamat datang ala Aceh terdapat gambar laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian adatnya. Saya akan memulainya dengan pakaian yang digunakan oleh laki-laki atau agam atau "linto baro" untuk pengantin laki-laki. 
Meukeutop adalah kopiah yang terlihat menjulang dengan motif khas Aceh yang berwarna-warni. Meukeutop memiliki lima warna yang punya arti tersendiri. Warna hijaunya melambangkan Islam, merahnya berarti kepahlawanan, warna kuning berarti kesultanan, warna putih untuk lambang kesucian dan warna hitam diartikan sebagai ketegasan. Selain itu, Meukeutop juga dihiasi "tengkulok" atau kain sutra yang dililit membentuk bintang segi delapan.
Baju adat bagian atas yang dikenakan laki-lakinya disebut "Meukasah", terlihat seperti beskap dan dibuat dari kain sutera yang ditenun. Umumnya "meukasah" berwarna hitam yang berlambang ketegasan dan kebesaran. Dari bagian kerah sampai bagian dada terdapat sulaman berwarna emas. Bagian kerahnya mirip kerah pakaian tradisional tiongkok. Sedangkan pakaian bagian bawahnya dinamakan "Sileuweu" atau perpaduan celana panjang dari katun yang disebut "cekak musang" dengan tutupan berupa kain songket yang dililit di pinggang si laki-laki dan menjulur hingga atas lutut.
Untuk pakaian adat perempuan atau inong atau "dara baro" sebutan bagi mempelai wanita hiasan tutup kepalanya disebut "Patam Dhoe" yang berbentuk seperti mahkota dan berukiran dengan motif daun sulur yang dipakaikan di atas jilbab. Di sisi lainnya ada pula motif "beungong kalimah" yang dikelilingi bentuk bulatan dan bunga. 
Pakaian bagian atasnya bernama "baju kurung". Sudah tak aneh bukan mendengar nama "baju kurung"? Ya, baju tradisional ini bukan hanya ada di Aceh, adat Minangkabau dan beberapa suku di Sumatera juga termasuk yang menggunakan pakaian adat ini. Baju kurung ini tercipta sebagai perpaduan adat Melayu, Cina dan Arab. Baju kurung memiliki kerah dan lengan yang dihiasi sulaman benang emas.
Pakaian bagian bawah dari perempuan hampir menyerupai pakaian yang laki-lakinya. Perempuan juga menggunakan celana "cekak musang" dan lilitan kain songket. Yang membedakannya yaitu bentuk bagian bawah "cekak musang" di perempuan yang dibentuk lebih mengerucut atau ada modifikasi bentuk lain.
Sebenarnya, di Aceh sendiri terdapat 13 suku yang memiliki tradisi pakaian masing-masing. Selain itu, dari akar budayanya lagi, mereka bahkan menjadi lebih dari 30 anak suku. Saya tidak akan menjabarkan semua pakaian adatnya karena sangat banyak jenisnya. Tapi, pakaian adat yang saya sebutkan tadi adalah yang sering dimunculkan sebagai lambang pakaian adat Aceh.
Dengan lebih dari 30 anak suku bahkan beragam bahasa yang ada di Aceh maka tak heran Aceh memiliki sangat banyak ragam tarian dan nyanyian. Yang terkenal dan melegenda ada seniman Rafli dari grup musik Kande, ada Liza Aulia hingga grup musik seniman mudanya seperti Seuramo Reggae, Apache 13 dan Perkusi Aceh dengan lagu hitsnya di dunia saat ini "Asai Bak Punca". Saya sendiri sangat menyukai lagu "Kutidhieng" yang dibawakan oleh Liza Aulia dan pernah membagi MP3nya dengan teman-teman saya dari mancanegara. Lagu itu membuat mereka kagum luar biasa.
Alat musik Aceh sendiri sangat beragam seperti bereguh, serune kalee, bangsi alas, tambo, teganing, kecapi  olah, kecapi aceh, genggong, genderang, rapai dan lainnya.
Tarian Aceh didominasi oleh adat-istiadat asalnya. Dan, hampir semua musik tradisional Aceh menggunakan rapai yaitu alat musik pukul atau juga disebut rebana. Bedanya, rapai Aceh sering digunakan oleh penari langsung dalam tariannya dengan gerakan badan berselang-seling antar penari dan tepukan tangan di pundak dan di atas paha. Warna tarian Aceh berasal dari adat Aceh pesisir utara dan barat , adat Aceh Gayo atau Aceh bagian tengah dan adat Aceh bagian timur yang lebih didominasi tradisi Melayu.
Bagi pecinta kuliner, Aceh adalah surga rasa dan bumbu. Jangan heran kalau untuk membuat satu jenis masakan saja orang Aceh harus mengulik bumbu sedemikian banyak dengan proses yang tidak instan juga. Dari buah kelapa saja bisa tercipta banyak jenis bumbu dasar seperti santan atau kelapa gongseng. Kelapa gongseng ini unik, dia dibuat dari kelapa yang disangrai sampai berwarna cokelat dan mengeluarkan cairan seperti minyak. 
Ada juga daun Temuruy yang langka. Aneka bahan tradisional digunakan sebagai bumbu masak seperti jintan, kapulaga hingga daging buah durian. Dan, bumbu yang terkenal dan cukup mudah diolah itu adalah "Asam Sunti". Asam Sunti ini adalah Belimbing Asam yang sudah tua dilumuri garam dan dijemur hingga kering dan berwarna cokelat. Biasanya lebih dari dua hari dibutuhkan untuk menjemur asam sunti hingga jadi.
Masakan Aceh sendiri banyak yang sudah terkenal dan banyak penggemarnya di kota-kota besar seperti Mie Aceh, Gule Kameng (Gulai Kambing), Kuah Sie Itek (Gulai Itik), Kuah Plik U, Ayam Tangkap, Kuah Masam Keu'eung (Ikan Asam Pedas), Martabak Aceh, Nasi Gurih, Bubur Kanji Rumbi, Ungkot Kemamah, Sie Reboh, Kuah Beulangong dan banyak lainnya. Kue-kue khas Aceh juga tak kalah menariknya seperti kue Timphan, Pulut, kue Adee atau Bingkang, Manisan Pala, Lemang, Meuseukat (Dodol Nanas), Roti Canai dan lainnya.
Yang menjadi kebanggaan besar Aceh yaitu kopi Aceh yang mendunia. Kopi Aceh ini memiliki aroma dan rasa tersendiri. Dari kopi arabika Gayonya yang elegan rasanya hingga kopi robustanya yang sangat garang citarasanya. Biji kopi Aceh sudah diekspor ke banyak negara. 

Sebenarnya, komoditas perkebunan Aceh yang jadi unggulan bukan cuma kopi. Kakao dan karet Aceh juga jadi komoditi andalan yang tembus pasar dunia.
Aceh juga dijuluki 'negeri seribu keude' atau negeri seribu kedai karena di hampir semua jalan yang ada kita dapat melihat kedai-kedai kopi berjejer. Masyarakat Aceh mempunyai tradisi berkumpul sambil menikmati kopi dengan aneka komunitas dan isi pembicaraan. Selain itu, memang mereka punya tradisi berkumpul di tempat-tempat lainnya seperti di meunasah gampong (mushola kampung).
Sekarang kita menjelajah alam Aceh ya. Saya akan membawa pembaca menyusuri pantai di wilayah sekitar Banda Aceh. Meskipun terletak di ujung barat, Banda Aceh adalah gerbangnya Aceh di mana terdapat pelabuhan besar yang menghubungkan Aceh dengan pulau lain bahkan negara lainnya. Pantai yang terkenal keindahannya di sini salah satunya yaitu Pantai Lamphuuk yang memiliki pasir putih dan air laut yang biru cerah dengan batu-batu menjulang di seberang yang terlihat seperti pulau-pulau kecil. 
Selain itu ada Pantai Lhoknga dan Ulee Lheue. Pantai Lhoknga ini juga berpasir putih dan air lautnya sangat biru tapi ombak di sini seringkali ekstrim. Jadi, para tetamu yang mau bermain air atau berenang sangat disarankan melihat situasi terlebih dulu. Ada masanya berendang atau mandi laut dilarang di lokasi ini. 
Kalau pantai Ulee Lheue ombaknya tenang, ada area dimana anak-anak aman untuk bermandi laut karena dibatasi bebatuan penahan ombak. Di Ulee Lheue ini terdapat pelabuhan besar yang menghubungkan kota Banda Aceh dengan pulau-pulaunya seberti pulau Weh, pulau Breueh, pulau Nasi bahkan negara lain.
Pulau Weh dimana kota Sabang berada merupakan salah satu tempat dengan kunjungan wisatawan tertinggi di Aceh. Di pulau ini terdapat titik nol kilometer daratan Indonesia paling barat. Uniknya, pengunjung yang datang ke Tugu Kilometer Nol akan mendapatkan kenang-kenangan berupa sertifikat. Di pulau Weh ini terdapat banyak penginapan dan area wisatawan. 
Yang asik dilakukan wisatawan di pulau ini adalah diving menyelam dan menikmati indahnya bawah laut. Pulau Weh ini juga dikelilingi pulau-pulau kecil lainnya. Pantainya eksotis dan tenang membuat banyak turis mancanegara betah berada di pulau ini. Mungkin mereka mendapatkan privasi lebih di sini.
Di bagian utara Banda Aceh juga terdapat pantai yang menjadi titik-titik wisatawan dan berada di sisi Bukit Soeharto. Yang unik lainnya dari Aceh adalah tanah pantai dan di banyak tempat lainnya dihiasi rumput hijau yang halus. Biasanya, rumput-rumput ini dibudidayakan dan dijual untuk dekorasi taman di rumah-rumah atau bangunan lainnya.
Berjalan ke arah barat selatan Banda Aceh, kita akan melewati sebuah jalan besar yang mulus di sisi laut. Jalan ini adalah jalan yang dibangun pasca tsunami 2004 dengan bantuan pemerintah Amerika Serikat. Jalan ini akan menambah keindahan fenomena yang kita lihat. Tiba di bukit Geurutee, kita akan melihat di sisi-sisinya terdapat banyak kedai kopi yang juga menjual makanan. 
Kedai-kedai itu memiliki semacam balkon yang menghadap ke lautan lepas di hadapan bukit Geurutee. Kagum dan merinding, itu kesan pertama saya melihat keindahan tersebut. Di hadapan kedai-kedai itu terdapat sebuah pulau bernama Pulau Kluang yang sangat dekat lokasinya dengan pantai Geurutee. Di bukit Geurutee terdapat banyak pepohonan yang masih dihuni oleh kera.
Berjalan lagi ke arah selatan pesisir ini, kita akan menikmati indahnya panorama pantai Calang yang dulu sempat luluh lantak oleh peristiwa tsunami tahun 2004. Pantai di sepanjang Calang ini airnya terlihat biru cerah, pasirnya putih dan terdapat gugus bebatuan yang mirip pulau kecil. Kalau anda pernah ke Phuket, anda akan melihat kemiripan pemandangan di sini. Bedanya, pantai di sepanjang Calang ini belum banyak dieksplorasi untuk pariwisata, jadi masih sangat alami dengan tempat-tempat bersantai yang masih sederhana untuk para wisatawan.
Berjalan ke arah selatan pesisir, kita akan menemui banyak kota-kota dan memiliki dasar tradisi yang sedikit berbeda-beda. Kita akan bertemu kota Meulaboh dimana pahlawan Aceh Teuku Umar dilahirkan dan berjuang hingga ajalnya. 
Di Meulaboh ini ada kopi yang disajikan dengan khas yaitu "Kopi Khop" atau kopi yang disajikan dengan cangkir terbalik yang ditutup oleh piring kecil. Kopi Khop ini adalah kopi tubruk robusta yang bisa diminum dengan bantuan sedotan atau dengan memiringkan gelas yang ditekan dengan alas piringnya secara perlahan-lahan.
Wilayah berikutnya adalah Nagan Raya dimana banyak tradisi yang kental hadiri di sini. Kalau anda pernah mendengar soal tradisi mayam atau mahar emas bagi pengantin wanita Aceh, maka Nagan Raya ini memiliki tradisi mayam termahal untuk pernikahan. Sebagai informasi tambahan, satu mayam itu sekitar 3,33 gram emas. 
Biasanya mayam perempuan memang dinilai dari status sosial si perempuan. Dan jumlah mayam di sini umumnya berkisar dari 20 hingga 100 mayam. Terbayang kan jumlah mahar yang harus dikeluarkan? Tapi jangan heran dulu, pihak keluarga perempuan juga tak kalah dalam menyediakan 'imbalan mayam'. Orang tua si mempelai perempuan atau disebut "dara baro" ini biasanya juga menyediakan rumah atau tanah untuk dimiliki kedua mempelai.
Masuk ke arah barat daya dan selatan kita akan menemui kota-kota seperti Blangpidie, Manggeng, Lembah Sabil, Labuhan Haji, Meukek hingga Tapak Tuan. Kota-kota yang saya sebutkan ini memiliki tradisi campuran Aceh dengan Minangkabau. Jadi, jangan kaget jika anda mendengar banyak orang menggunakan bahasa minang di area ini. "Bahasa Jamek" atau "Bahasa Jamu" mereka menyebutnya, yang adalah perpaduan bahasa Aceh dengan Bahasa Minang. Di seberangnya terdapat Pulau Simeulue yang sebagian penduduknya juga menggunakan bahasa ini.
Nama "Labuhan Haji" itu asalnya dari pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal keberangkatan haji yang dulu ada di kota ini. Dulu, sebagian jemaah haji asal sumatera bagian barat utara berangkat dari pelabuhan ini. Saat ini, Labuhan Haji juga tetap menjadi pelabuhan tapi hanya memberangkatkan kapal-kapal menuju pulau Simeulue serta Pulau Banyak dan sekitarnya.
Sekitar 150 km di barat pantai Labuhan Haji terdapat Pulau Simeulue dimana banyak suku mendiaminya. Pulau Simeulue ini dikenal sebagai salah satu 'Surga Para Pemancing Ikan' di Aceh. Di pulau ini terdapat juga banyak lobster. Tak heran jika pemerintah kabupaten Simeulue memberikan hak penggunaan salah satu pulau kecil di dekatnya untuk digunakan perusahaan milik Susi Pudjiastuti dalam pengepakan dan pengiriman lobster untuk diekspor. Kalau mau menikmati lobster dengan harga merakyat, anda bisa menyusuri pantai-pantai di sekeliling pulau ini.
Selain pulau Simeulue, terdapat juga pulau Banyak atau kepulauan Banyak. Sesuai dengan namanya, ini adalah gugusan pulau-pulau di barat pesisir Aceh bagian Selatan. Seperti pulau Simeulue, pulau-pulau ini juga jadi surganya para pemancing.
Ke arah selatan kita akan bertemu kota Tapaktuan yang memiliki seribu legenda. Tapaktuan ini indah dengan pertemuan laut dengan bukit-bukit hijau menjulang di garis pantainya. Lautan yang berada di dekat Tapaktuan ini cukup dalam maka terlihat air lautnya lebih berwarna biru tua. 
Di kota ini ada legenda bekas tapak kaki raksasa di sebuah batu karang di kaki bukit Lampu. Konon itu adalah tapak Syech Tuan Tapa, pertapa sakti bertubuh raksasa, tokoh dalam cerita Aceh. Konon, Tuan Tapa berhasil menyelamatkan seorang putri dari Raja dan permaisuri dari cengeraman dua ekor naga raksasa. Maka di Tapaktuan ini juga terdapat makam Tuan Tapa yang berukuran panjang dan sebuah batu yang disebut sebagai "Tongkat Tuan Tapa".
Kota-kota di arah selatan setelah Tapaktuan ini ada yang masih menggunakan bahasa jamee, bahasa aceh dan bahasa tapanuli. Ini adalah daerah perbatasan menuju wilayah Sumatera Utara.
Pesisir utara aceh ke arah timur diisi dengan banyak kota dan banyak tradisi seperti Pidie, Bhireuen, Lhokseumawe, Panton Labu. Konon, banyak tokoh-tokoh besar Aceh berasal dari sini. Umumnya, warga di wilayah ini murni menggunakan bahasa dan tradisi Aceh. Di Lhokseumawe terdapat banyak industri besar Aceh seperti industri gas alam, pupuk dan lainnya. Di kota ini juga terdapat pelabuhan besar tempat bersandarnya kapal-kapal barang dan kapal komersil dari dan ke luar negeri.
Ke arah timur selatan Aceh akan kita temui kota-kota seperti Idi Rayeuk, Tamiang dan Langsa yang tradisinya sudah bercampur antara tradisi Aceh dengan tradisi melayu. Ini semua juga kota-kota pesisir yang pantainya berhadapan dengan laut Natuna. Ombak di lautan pesisir ini tidak sebesar ombak-ombak yang ada di pantai-pantai barat Aceh yang menghadap ke samudera.
Kita menuju Aceh Tengah yang memiliki cuaca sedikit berbeda dengan wilayah Aceh lainnya yang berada di pesisir. Untuk menuju Aceh Tengah kita bisa melewati kota Bireuen, kota Nagan Raya atau melalui kota Singkil. Aceh Tengah memiliki ibukota bernama Takengon. Satu-satunya danau di Aceh yaitu Danau Laut Tawar berada di ketinggian di tengah kota ini. Danau Laut Tawar dikelilingi bukit-bukit yang asri yang sudah masuk dalam gugusan bukit barisan di sepanjang pulau Sumatera.
Aceh bagian Tengah (terdiri dari kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues) diisi mayoritas masyarakat suku Gayo yang memiliki bahasa berbeda dari bahasa Aceh. Pakaian adat mereka juga sedikit berbeda. Umumnya, baju adat Gayo dihiasi oleh bordiran khasnya yang berwarna-warni. Masyarakat Gayo juga memiliki tradisi unik balapan kuda liar dengan pemainnya menggunakan pakaian adat Gayo. 
Masyarakat Gayo juga memiliki tarian khas yaitu tari Saman, tari Bines, Didong, tari Munalu dan lainnya. Wilayah pegunungan Gayo dipenuhi oleh kebun-kebun kopi yang menjadi komoditi andalan daerah ini bahkan kebanggaan nusantara.
Ke arah selatan dari wilayah Gayo ini kita akan menemukan Taman Nasional Gunung Leuser di kaki gunung Leuser yang menjadi jantung hutan hujan tropis di pulau Sumatera. Taman nasional ini masuk dalam kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Di taman nasional ini, aneka satwa liar Sumatera masih terjaga kelestariannya. Selain itu, di sepanjang Aceh, masih banyak satwa liar yang hidup di dekat permukiman penduduk seperti babi hutan, harimau, kera, gajah dan buaya. Selama habitat mereka terjaga maka mereka akan damai di dalamnya tanpa mengganggu manusia.
Eksotisme adat istiadat, keindahan pesisir, pegunungan yang ditambah dengan indah dan terjaganya ekosistem hutan hujan menjadi alasan lengkapnya keistimewaan Aceh. Tak akan habis kata untuk mengeksplorasi ini semua, maka berkunjunglah ke Aceh untuk menyaksikan langsung semua karunia Tuhan ini.  Di mata saya, jika keindahan menghilangkan tradisi asli maka itu akan jadi kehancuran. 
Pada tanggal 21 Desember 2019 lalu pemerintah Aceh melalui Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh dan Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPP Aceh) mengadakan Diskusi "Aceh Meusapat" dan Pameran Travel Mart di Mess Aceh, Cikini, Jakarta untuk meningkatkan pembangunan di sektor pariwisata dan jumlah wisatawan menuju Aceh. Dan di momen ini, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menjanjikan bahwa pariwisata Aceh akan terus dimajukan untuk bersaing di kancah internasional dengan tetap menjaga tradisi asli dan syariah Islam yang diterapkan.
Di kegiatan ini hadir pula manajer dari Traveloka, staf pemberdayaan masyarakat dari Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, penggiat desa wisata dari Sleman Yogyakarta dan penggiat pariwisata dari Banyuwangi. Kesimpulan yang didapat adalah perlu kekuatan sinergi semua pihak untuk memajukan sektor pariwisata di Aceh.
Demikian ulasan saya mengenai Aceh. Ini baru sebatas pengetahuan Saya tentang Aceh dan saya yakin masih banyak keistimewaan Aceh yang belum saya ketahui. Saya cuma ingin berpesan, "Jak Ta Jaga Aceh Geutanyo Sayang" (mari kita jaga Aceh kita tersayang).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sambal Roa dan Pecel Madiun Bertemu dalam Jamuan Sosial dan Kekinian

Tradisi "Masawang-sawangan" dan "Matombol-tombolan" Keluarga Kawanua dan Khidmat Paskah dalam Masa Pandemi Covid-19

Pengalaman Room Tour di Rooms Inc untuk Rekomendasi Hotel di Semarang