Belajar dari si Mbah...

Matahari belum juga muncul, sayup terdengar di kanan kiri rumahku ada ibu-ibu yang sudah mulai menyapu halaman. Hari masih setengah gelap dan sesosok manusia sudah memanggul bakul berisi bungkusan-bungkusan mie goreng dan pecel sayuran yang siap untuk dijual. Berpakaian sederhana yang setengah lusuh, mengenakan kain lilit setinggi betis dia berjalan tanpa alas kaki. Hari-hari aku memanggilnya si Mbah. Ya.. aku tak tahu persisnya namanya. Ada yang memanggilnya mbah Minah, mbah Nah, Mboke yuk Widi dan sebagainya.. Ya pokoknya si Mbah lah..! 

Dia tinggal di seberang rumahku. Baru setahun aku tinggal di lingkungan ini dan si Mbah adalah orang yang konsisten pekerja keras dari awal kukenal. Dia tinggal di dua rumah sangat sederhana yang berdampingan yang berisi anak-anak dan cucu-cucunya. Dia menjajakan mie dan pecel dengan berjalan kaki. Entah sampai mana ia sanggup berjalan. Yang jelas, di siang hari biasanya ia sudah kembali ke rumah, menukar bakul gendongnya dengan arit dan perlengkapan untuk ke sawah. Di musim tanam dan musim panen, ia pun ikut jadi petani gurem di areal sawah padi di sekitar lingkungan kami yang bernama dukuh Sawit. Setiap sore, ia kembali berkeliling menjajakan mie dan pecel dan kembali lagi ke rumah saat hari mulai gelap.

Aku tak tahu berapa persisnya usia si Mbah. Yang kutahu, salah satu anaknya ada yang sudah berusia di atas 40 tahun. Di usianya yang tak muda lagi itu, tak sedikitpun kulihat raut lelah dan berontak akan nasib. Setiap berpapasan denganku atau anak-anakku, dia selalu tersenyum dan dan menyapa. Sering juga si Mbah mengajak anak-anakku bercanda. Dia juga sering memberiku nasihat dengan bahasa Jawa kentalnya. Begitulah, si Mbah adalah sosok yang tangguh tapi juga hangat. Sebenarnya banyak pesan yang bisa kudapat darinya. Tapi sayang, bahasa jadi kendala. Tiap kali diajak si Mbah ngobrol, aku cuma bisa manggut-manggut. Waah, aku mesti giat belajar bahasa Jawa nih.. :)

Si Mbah adalah satu dari sekian banyak sosok perempuan inspiratif yang tidak tersorot media. Secara literatur, dia bukan siapa-siapa. Tak ada satu pun catatan sejarah menuliskan perjuangan hidup yang dilakukannya. Di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan, di lingkungan masyarakat adat kita, sosok serupa si Mbah pasti ada. Mereka hidup sederhana, berbahasa dan dialek kental daerahnya, tak mengenal teknologi canggih apalagi gadget dan media sosial. Sepintas tak ada yang menarik dari mereka. Tapi pernahkah terpikir oleh kita bagaimana menjalani hari-hari seperti mereka?

Di sebuah sungai di wilayah kecamatan Pante Ceuremen, Aceh Barat, ada penambangan batu kali yang beberapa kuli angkutnya adalah wanita tua. Dari bobot yang dipikulnya, aku perkirakan mereka menggendong batu dengan berat sekitar 30kg. Dalam satu hari, dia masih harus beberapa kali balik mengambil dan mengumpulkan batu ke pengulaknya. Dan persis si Mbah tadi... para nenek ini bekerja tanpa alas kaki! Sudah lebih mudah membayangkannya, kan?

Perjuangan tanpa batas juga banyak saya lihat di lingkungan teman-teman dan keluarga. Ada yang orang tua tunggal membesarkan anaknya sendiri tanpa sedikitpun si anak kekurangan kasih sayang dan fasilitas yang dibutuhkan. Ada yang berperan multifungsi dalam keluarga, mengurus beberapa anak sekaligus tanpa bantuan orang lain sampai ibu yang dengan kesabaran luar biasa dan tetap bangga mengurus anak difabelnya.

Mereka adalah pejuang domestik rumah tangga. Tak jarang mereka juga yang bermultifungsi sebagai buruh, pegawai kantoran, wirausahawan, aktifis organisasi atau seniman.

Negeri ini selalu butuh sosok kuat, bersemangat namun tetap hangat. Perempuan-perempuan ini tak butuh dicatat. Bahkan sebuah tindakan sederhana bisa menunjukkan dukungan kita untuk mereka. Senyuman yang tulus, sikap pengertian dan menghargai setiap jerih payah yang dilakukan, semua itu yang dibutuhkan oleh segenap sosok-sosok tangguh ini.

Hakikatnya kesetaraan hak untuk bahagia antara perempuan dan laki-laki adalah kesetaraan hak untuk seluruh manusia dari berbagai ras, warna kulit, agama, suku bangsa, usia serta status sosial dan ekonomi. Peringatan perjuangan kaum perempuan bukan tindakan teoritis untuk sekedar menunjukan kepedulian, rasa humanis bahkan bagian dari capaian program apapun. Ini persoalan rasa yang membentuk karakter sosial. Semoga masih banyak perempuan sadar potensi yang mau memaksimalkan kemampuannya untuk kebaikan orang banyak. Sejalan dengan itu, semoga kaum ini semakin diberi tempat untuk berperan di tengah masyarakat.

Untuk si Mbah tersayang dan semua perempuan di muka bumi, tetap semangat! Jalan selalu terang jika kita punya niat!

-aku yang terinspirasi oleh 'si Mbah-si Mbah' di dunia-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sambal Roa dan Pecel Madiun Bertemu dalam Jamuan Sosial dan Kekinian

Pengalaman Room Tour di Rooms Inc untuk Rekomendasi Hotel di Semarang

Pidato Jokowi dan Kiprah Indonesia di PBB