Merdeka dunia akhirat
"Indonesiaku, sungguh harum namamu...", sepenggal bait pertama dari sebuah puisi yang dibuat papaku saat aku berusia 6 tahun atau masih di bangku kelas 1 SD. Cuma kalimat itu yang masih jelas di ingatanku. 24 tahun berlalu rasanya tak mungkin bagiku mengingat seluruh bait puisi tersebut apalagi aku tidak pernah menyimpan dokumentasinya.
Yang jelas, saat itu papa membuatkan puisi tersebut menjelang HUT RI untuk kubaca saat perlombaan baca puisi dalam memperingati pesta kemerdekaan RI tersebut. Semangat papa mendorongku ikut serta, meskipun saat itu aku peserta termuda karena rata-rata peserta lainnya berusia 10-13 tahun. Meski aku tak percaya diri saat itu, bahkan menyerah, papa terus melatihku. Hingga datang saatnya perlombaan. Rasa takjub pun datang ketika juri menyatakan aku sebagai juara pertama di lomba yang diikuti sekitar 25 peserta tersebut. Seketika papa memelukku dengan bahagianya.
Mungkin itu hanya sebuah event kecil, yang diadakan hanya sebatas lingkup di tingkat RW. Tapi dampak dari peristiwa itu merupakan hal besar bagiku. Semangat dan percaya diriku semakin terdongkrak. Aku merasamenjadi seseorang yang bisa menunjukkan sesuatu yang luar biasa dan bisa menyenangkan orang lain di sekelilingku. Nampaknya usia dan pengalaman tak menentukan keberhasilan seseorang. Semakin besar semangat, percaya diri dan usaha yang dilakukan, semakin besar peluang seseorang untuk berhasil.
Kemerdekaan tidak melulu mengenai perjuangan suatu bangsa terlepas dari penjajahan. Kemerdekaan juga berarti kemerdekaan diri. Pribadiyang merdeka sudah terlepas dari rasa tertekan, rendah diri, malas, ego dan nafsu yang negatif serta ambisi yang datang bukan dari diri sendiri. Jiwa yang merdeka tidak pernah mengejar prestasi hanya karena tak mau kalah dari orang lain atau karena mengejar sebuah status dan menutupi kekurangan diri sendiri. Pribadi yang merdeka juga lantas bukan mereka yang bebas hingga kebablasan.
Kemerdekaan buat bangsa kita berarti lepas dari kebodohan, kesengsaraan, keserakahan dan sebagainya yang merugikan kita. Tapi hati kita masing-masing lah yang bisa mengatakan apakah bangsa kita sudah betul-betul merdeka atau belum.
Kembali teringat papa...
Saat ini papa sudah merdeka dari belenggu duniawi. Jiwanya di sana insya Allah sudah tenang.
Tinggal aku, kita... apakah kita baru merasakan kemerdekaan saat ajal sudah menjemput? Atau justru sebaliknya, saat ajal menjemput, apakita akan dihadapkan pada tekanan-tekanan ganjaran atas perilaku kita di dunia? Cuma diri kita yang bisa menentukan...
Sulit rasanya menjamin kemerdekaan kita pada hari akhir...Bagaimana tidak, perintah Allah sering kita abaikan. Mereka yang sudah istiqamah di jalan Allah bahkan sering kita anggap kolot dan ketinggalan zaman. Kewajiban yang sudah ditentukan bagi kita masih sering kita tawar-menawar untuk dilaksanakan dengan pertimbangan ini lah itu lah... belum puas menikmati hiduplah. Astaghfirullah...!
Semoga aku, kita semua, masih diberi kesempatan hidup untuk memperbaiki semuanya.
Merdekalah untuk berkeyakinan yang benar. Merdekalah untuk memperbaiki diri...
Semoga Allah menerangi kita di bulan ramadhan ini... Amien.
Komentar
Posting Komentar